Kyai
Sengkelat adalah keris pusaka luk tiga belas yang diciptakan pada jaman
Majapahit (1466 – 1478), yaitu pada masa pemerintahan Prabu Kertabhumi
(Brawijaya V) karya Mpu Supa Mandagri.
Mpu
Supa adalah salah satu santri Sunan Ampel. Konon bahan untuk membuat
Kyai Sengkelat adalah cis, sebuah besi runcing untuk menggiring onta.
Konon, besi itu didapat Sunan Ampel ketika sedang bermunajat. Ketika
ditanya besi itu berasal darimana, dijawab lah bahwa besi itu milik
Muhammad saw. Maka diberikan lah besi itu kepada Mpu Supa untuk dibuat
menjadi sebilah pedang.
Namun
sang mpu merasa sayang jika besi tosan aji ini dijadikan pedang, maka
dibuatlah menjadi sebilah keris luk tiga belas dan diberi nama Kyai
Sengkelat. Setelah selesai, diserahkannya kepada Sunan Ampel. Sang Sunan
menjadi kecewa karena tidak sesuai dengan apa yang dikehendakinya.
Menurutnya, keris merupakan budaya Jawa yang berbau Hindu, seharusnya
besi itu dijadikan pedang yang lebih cocok dengan budaya Arab, tempat
asal agama Islam. Maka oleh Sunan Ampel disarankan agar Kyai Sengkelat
diserahkan kepada Prabu Brawijaya V.
Ketika
Prabu Brawijaya V menerima keris tersebut, sang Prabu menjadi sangat
kagum akan kehebatan keris Kyai Sengkelat. Dan akhirnya keris tersebut
menjadi salah satu piyandel (maskot) kerajaan dan diberi gelar Kangjeng
Kyai Ageng Puworo, mempunyai tempat khusus dalam gudang pusaka keraton.
Pusaka
baru itu menjadi sangat terkenal sehingga menarik perhatian Adipati
Blambangan. Adipati ini memerintahkan orang kepercayaannya untuk mencuri
pusaka tersebut demi kejayaan Blambangan, dan berhasil. Mpu Supa yang
telah mengabdi pada kerajaan Majapahit diberi tugas untuk mencari dan
membawa kembali pusaka tersebut ke Majapahit. Dalam menjalankan
tugasnya, sang Mpu menyamar sebagai seorang pandai besi yang membuat
berbagai alat pertanian dan mengganti namanya menjadi Ki Nambang.
Di
samping pandai membuat alat pertanian, beliau juga membuat tombak,
pedang dan keris yang kemudian dipamerkan di tempat-tempat keramaian, di
Blambangan. Seketika pameran tersebut memancing perhatian banyak orang.
Banyak sekali pesanan datang dari para pejabat kadipaten Blambangan.
Termasuk patih Adipati Blambangan yang memesan Keris Carangsoka.
Akhirnya
sang adipati Blambangan menyaksikan keris ciptaan Ki Nambang, sebilah
keris Carangsoka yang sangat bagus dan ampuh. Ketika ditusukkan ke pohon
pisang, seketika itu seluruh daun pisang menjadi layu. Karenanya sang
mpu di undang untuk menghadap ke kadipaten guna membicarakan suatu hal
yang rahasia dengan alasan agar percikan bunga api besi bahan kerisnya,
tidak menjadi bencana bagi rakyat Blambangan.
Ternyata
setelah Ki Nambang datang menghadap, didapatnya tugas untuk membuat
“putran” atau tiruan Kangjeng Kyai Puworo (Keris Sengkelat). Ki Nambang
dengan siasatnya meminta disediakan perahu untuk membuat tiruan Kyai
Sengkelat dengan alasan percikan bunga api besi bahan kerisnya tidak
menimbulkan bencana bagi rakyat Blambangan.
Singkat
cerita, akhirnya rencana mendapatkan kembali keris pusaka Majapahit itu
berhasil tanpa harus menimbulkan kecurigaan dan pertumpahan darah.
Malah Ki Nambang akhirnya dianugerahi seorang putri kadipaten yang
bernama Dewi Lara Upas, adik dari Adipati Blambangan itu sendiri. Serta
mendapatkan gelar kebangsawanan sebagai Kangjeng Pangeran berikut tanah
perdikan di Desa Pitrang. Maka namanya pun berubah menjadi Kangjeng
Pangeran Pitrang yang bekerja sebagai mpu kadipaten Blambangan.
Sang
Mpu yang berhasil melaksanakan tugas selalu mencari cara agar dapat
kembali ke Majapahit. Ketika kesempatan itu tiba maka beliau pun segera
kembali ke Majapahit dan meninggalkan istrinya yang sedang hamil.
Sebelum pergi, beliau meninggalkan pesan kepada sang istri bahwa kelak
jika anak mereka lahir laki-laki agar diberi nama Joko Suro, serta
meninggalkan besi bahan membuat keris.
Lima
belas tahun kemudian setelah Mpu Pitrang meninggalkan Blambangan,
datang lah seorang pemuda yang mengaku sebagai anak mpu Supa. Ketika
ditanya, ia mengaku bernama Joko Suro. Mpu meminta bukti berupa besi
bahan membuat keris. Namun ketika diserahkan oleh Joko Suro, besi bahan
itu telah menjadi sebilah keris. Ternyata selama dalam perjalanan
mencari ayahandanya, besi itu oleh Joko Suro dipijit-pijit dan ditarik
olehnya hingga menjadi sebilah keris kecil. Maka keris itu pun dinamakan
Keris Kyai Bethok yang mempunyai keampuhan menyingkirkan niat jahat.
Mitos genderuwa sebagai makhluk gaib sendiri diduga berakar dari mitos kuno Persiagandarewa. Dalam mitos Persia, gandarewa adalah silumanair Persia yang terus-menerus mencoba untuk memakan hal-hal baik yang tercipta dalam mitos penciptaan Persia dan akhirnya akan dikalahkan oleh pahlawanKeresaspa. [2]
Mitologi Genderuwa dalam budaya Jawa
Genderuwa dipercaya dapat berkomunikasi dan melakukan kontak langsung dengan manusia.
Berbagai legenda menyebutkan bahwa genderuwa dapat mengubah penampakan
dirinya mengikuti wujud fisik seorang manusia untuk menggoda sesama
manusia.
Genderuwa dipercaya sebagai sosok makhluk yang iseng dan cabul, karena kegemarannya menggoda manusia terutama kaum perempuan dan anak-anak. Genderuwa kadang senang menepuk pantat perempuan, mengelus tubuh perempuan ketika sedang tidur, bahkan sampai memindahkan pakaian dalam perempuan ke orang lain.
Kadang genderuwa muncul dalam wujud makhluk kecil berbulu yang bisa tumbuh membesar dalam sekejap, genderuwa juga gemar melempari rumah orang dengan batu kerikil di malam hari. [1] Salah satu kegemaran genderuwa yang paling utama adalah menggoda istri-istri kesepian yang ditinggal suami atau para janda, bahkan kadang genderuwa bisa sampai melakukan hubungan seksual dengan mereka. Dipercaya bahwa benih daripada genderuwa dapat menyebabkan seorang wanita menjadi hamil dan memiliki keturunan dari genderuwa.
Menurut legenda, genderuwa memiliki kemampuan gendam untuk menarik wanita agar mau bersetubuh dengannya. Kemampuan hubungan seks
genderuwa juga diyakini amat luar biasa, sehingga wanita-wanita korban
pencabulannya seringkali merasakan puas dan nikmat yang luar biasa
apabila berhubungan badan dengan genderuwa.
Namun biasanya wanita korban yang disetubuhi oleh genderuwa tidak
akan sadar sedang bersetubuh dengan genderuwo karena genderuwo akan
menyamar sebagai suami atau kekasih korban dalam melakukan hubungan seks. Disebutkan pula kalau genderuwa memiliki libido dan gairah seksual
yang besar dan jauh di atas manusia, sehingga ia amat mudah terangsang
melihat kemolekan perempuan dan membuatnya menjadi makhluk yang senang
menggoda perempuan.
Ada legenda menyatakan genderuwa kadang senang bersemayam di dalam rahim perempuan. Perempuan yang rahimnya disemayami oleh genderuwa akan memiliki gairah seks
yang tinggi dan tak mampu menahan gairahnya. Si perempuan akan senang
melakukan hubungan intim. Apabila pasangan si perempuan tak mampu
mengimbangi gairahnya, maka si perempuan takkan segan mencari pasangan
lain. Hal ini terjadi karena gairah si wanita dikendalikan oleh
genderuwa, apabila si wanita melakukan hubungan intim, maka si genderuwa
yang bersemayam di rahimnya juga akan merasakan nikmat dari hubungan
intim yang dilakukan wanita tersebut.
Dalam kepercayaan Jawa, tidak semua genderuwa bersifat jahat, ada pula genderuwa yang bersifat baik. Genderuwa yang bersifat baik ini dipercaya biasanya menampakkan wujudnya sebagai seorang kakek
tua berjubah putih yang kelihatan amat berwibawa. Genderuwa yang baik
tidak bersifat cabul seperti saudara sebangsanya yang bersifat jahat,
genderuwa yang baik seringkali membantu manusia seperti menjaga tempat
gaib atau rumah dari orang yang berniat tidak baik, bahkan perampok. Pernah juga terdengar bahwa genderuwa yang bersifat baik kadang-kadang membantu menyunat anak-anak dari keluarga tidak mampu yang saleh beribadah.
Asal-usul Genderuwa
Asal-usul genderuwa dipercaya berasal dari arwah orang yang meninggal secara tidak sempurna, bisa akibat bunuh diri, penguburan yang tidak sempurna ataupun kecelakaan sehingga arwah orang tersebut merasa penasaran dan belum mau menerima kematiannya.
Genderuwa tidak dapat dilihat oleh orang biasa tapi pada saat tertentu
dia dapat menampakkan dirinya bila merasa terganggu. Dipercaya bahwa
tidak semua genderuwa jahat, karena ada pula yang baik dan sikap mereka
tergantung bagaimana manusia bersikap, apakah mau berteman atau bermusuhan dengan genderuwa tersebut.
Mitos ritual pemanggilan
Banyak kalangan mempercayai salah satu cara memanggil genderuwa adalah dengan membakar sategagak. Diyakini, burung gagak adalah makanan kesukaan sekaligus binatang peliharaan genderuwa, dalam hal ini seperti manusia yang memelihara ayam.
Untuk melakukan ritual ini, subyek yang ingin bertemu dengan
genderuwa diyakini harus mengikuti tata cara khusus untuk membuat sate
gagak. Tata cara tersebut umumnya digambarkan sebagai berikut: setelah
berhasil menangkap burung gagak, burung gagak tersebut disembelih dengan
pisau yang sangat tajam.
Alasannya, ketajaman mata pisau akan memengaruhi lancar tidaknya darah
yang mengalir keluar dari bekas luka yang ditimbulkan; berikutnya adalah
mencabuti bulu-bulu hitam gagak yang kasar sehingga benar-benar bersih. Selanjutnya, daging yang sudah bersih ditelikung seperti halnya kalau membuat ingkung ayam. Baru kemudian, bisa dibakar di atas perapian.
Hal terpenting dari ritual ini dipercaya adalah pengucapan rapalan mantra
khusus agar genderuwa selain mencium bau makanannya juga dapat
mendengar panggilan. Mantra pemanggil genderuwa diyakini hanya dimiliki
segelintir orang saja dan tidak sembarang diberitahukan akan. Sifat
kerahasiaan ini telah banyak digunakan untuk penipuan
demi mendapat keuntungan. Tempat yang diyakini paling tepat untuk
melakukan ritual pemanggilan ini adalah tempat yang terbuka, agar bau
burung gagak yang dibakar menyebar ke segala arah dibawa oleh angin dan bisa mengundang genderuwa mendatangi tempat tersebut.
Mitos dalam perjudian
Ritual mengundang genderuwa yang lengkap dengan segala sejajinya
banyak dilakukan orang, terutama yang berkepercayaan tradisional di
pulau Jawa. Hal ini berkaitan dengan maraknya judi togel yang dahulu dikenal dengan istilah "nomor buntut" atau "nomor jitu".
Para praktisi tersebut meyakini bahwa dengan mengundang genderuwa,
keinginan untuk mendapat nomor yang beruntung bisa terpenuhi dan dengan
berbekal sedikit keberanian, keuntungan besar bakal gampang mereka
peroleh.
Hal unik yang terjadi dalam ritual pemanggilan genderuwa hingga permintaan untuk menyebutkan "nomor jitu" adalah dilakukannya tawar menawar seperti layaknya jual belipedagang di pasar.
Diyakini bahwa setelah genderuwa keluar dari sarang mereka setelah
mendengar rapalan mantra berikut bau daging gosong gagak terpanggang,
praktisi harus secepatnya meminta apa yang mereka inginkan sebelum
genderuwa mencuri atau memakan umpan sate burung gagak sebelum
mengucapkan permintaan. Sebab, jika genderuwa telah kenyang akan segera
menghilang pergi tanpa mau memberikan jawaban yang diinginkan
pemanggilnya.
Dalam budaya populer
Mitos genderuwa telah banyak digunakan dalam banyak media hiburan, terutama dalam cerita fiksi horor dan film horor dari Indonesia maupun di Malaysia
di mana komunitas Jawanya masih mempraktekkan kepercayaan dan budaya
Jawa. Mitos genderuwo pernah diangkat ke kisah drama di layar lebar
dalam film Gondoruwo (1981) yang disutradarai Ratno Timoer.
Mitos genderuwo juga banyak diangkat menjadi cerita fiksi hiburan di era 1990-an, seperti komikromanmistis bersambung "Si Denok" yang dimuat di harianSuara Merdeka tahun 1990-an di Indonesia. Film horor Genderuwo yang dirilis tahun 2007 di Indonesia juga meminjam banyak unsur cerita dari mitos genderuwa.
Di Indonesia pada dekade 90-an sempat tenar figur "Tebo Si Manusia Misterius" yang diorbitkan oleh grup hiburan keliling "Wahana Misteri". Tebo lahir di Jember, Jawa Timur pada tahun 1970, yang menarik dari tokoh ini adalah bahwa dia dilahirkan dengan ciri fisikabnormal dimana bulu
tumbuh di sekujur tubuhnya dan juga ukuran tubuhnya yang amat besar.
Oleh karena inilah Tebo diberitakan oleh masyarakat sebagai hasil kawin silang antara manusia dengan genderuwo, berita ini disajikan oleh pihak Wahana Misteri dengan mengemas pertunjukan Tebo dengan kisah mistis yang cukup menarik sebagai asal usulnya. [3]
Dalam konteks internasional, versi Persianya, yaitu gandarewa telah dipinjam ke dalam permainan video RPG / permainan peranFinal Fantasy X asal Jepang tahun 2001. Dalam permainan video ini gandarewa adalah salah satu dari banyak makhluk monster musuh yang mempunyai kekuatan magis. [4]
BATARA KALA, anak Batara Guru yang keberadaannya tidak direncanakan dan
tak terduga. Ia terjadi dari kama benih (air mani) Batara Guru yang
tidak tersalurkan secara semestinya, dan jatuh ke samudra. Begitu
menurut cerita wayang Purwa. Ini terjadi ketika pada suatu saat Batara
Guru bertamasya bersama istrinya, Dewi Uma, menunggang Lembu Andini
mengarungi angkasa. Di atas Nusa Kambangan, dalam keindahan pemandangan
senja hari, Batara Guru tergiur melihat betis istrinya. Ia lalu merayu
Dewi Uma agar mau melayani hasratnya saat itu juga, di atas punggung
Andini. Tetapi istrinya menolak. Selain karena malu, Dewi Uma menganggap
perbuatan semacam itu tidak pantas dilakukan.
Karena gairah Batara Guru tak tertahankan lagi, akhimya jatuhlah kama
benihnya ke samudra. Seketika itu juga air laut bergolak hebat. Benih
kama Batara Guru menjelma menjadi makhluk yang mengerikan. Dengan cepat
makluk itu tumbuh menjadi besar. la menyerang apa saja, melahap apa
saja. Untuk meredakan kekalutan yang terjadi, Batara Guru memerintahkan
beberapa orang dewa membasmi makhluk itu. Namun dewa-dewa itu tak ada
yang mampu menghadapi makhluk itu. Mereka akhirnya bahkan lari pulang ke
kahyangan. Makhluk ganas itu segera mengejar para dewa sampai ke
Kahyangan Suralaya, tempat kediaman Batara Guru. Setelah berhadapan
dengan Batara Guru makhluk itu menuntut penjelasan, ia anak siapa, untuk
kemudian minta nama dari ayahnya. Batara Guru yang maklum keadaannya,
segera memberi tahu bahwa makhluk itu adalah anaknya yang terjadi karena
kama salah. Batara Guru memberinya nama Kala, dan mengangkatnya
sederajat dengan dewa, sama dengan anak-anaknya yang lain. Dengan
demikian, ia bergelar Batara Kala.
Setelah mendapat nama, Batara Kala lalu minta diberi istri dan tempat
tinggal. Kebetulan, sesaat sebelumnya Batara Guru dan Dewi Uma baru saja
bertengkar sehingga mereka saling mengutuk. Dewi Uma yang tadinya
cantik jelita dikutuk menjadi raseksi (raksasa wanita) dan diberi nama
Batari Durga. Maka Batari Durga lalu diperintahkan menjadi istri Batara
Kala. Mereka diberi tempat di Kahyangan Setra Gandamayit, di telatah
Hutan Krendawahana. Perkawinan ini kemudian membuahkan dua orang anak.
Yang sulung bernama Kala Gotana berujud raksasa mengerikan, sedangkan
anaknya yang kedua bernama Dewasrani yang tampan. Selain yang dua itu,
dalam beberapa lakon carangan, mereka masih mempunyai beberapa anak
lagi.
Karena Batara Kala makhluk yang amat rakus dan ganas, Batara Guru
khawatir kalau-kalau manusia di bumi akan punah dimangsanya. Oleh sebab
itu Batara Guru lalu berusaha mengurangi kerakusan anaknya itu. Sebagai
ayahnya, Batara Guru minta agar Batara Kala mendekat dan sungkem
(berjongkok dan menyembah) di hadapannya. Batara Kala melaksanakan
permintaan ayahnya itu. Namun ketika sampai ke dekat Batara Guru, pemuka
dewa itu tiba-tiba memotong kedua taring dan lidah Batara Kala yang
mengandung bisa.
Oleh Batara Guru, potongan lidah Batara Kala kemudian dicipta menjadi
senjata ampuh berupa anak panah dan diberi nama Pasupati. Anak panah ini
kelak menjadi milik Arjuna.
Sedangkan taring kirinya menjadi keris bernama Kaladite, yang kemudian menjadi milik Adipati Karna.
Potongan taring kanan Batara Kala dicipta menjadi keris yang diberi nama
Kalanadah. Keris ampuh ini kelak akan dianugerahkan kepada Arjuna,
kemudian Arjuna memberikannya kepada Gatotkaca sebagai kancing gelung.
Batara Guru juga memberi ketentuan, hanya anak sukerta saja yang boleh
dimangsa Batara Kala. Namun anak sukerta itu pun tidak boleh dimangsa,
bilamana si anak telah diruwat oleh orang tuanya.
Daftar anak yang tergolong sukerta (sebagian)
1. Ontang-anting, naak tungal, baik lelaki maupun perempuan.
2. Kedana-kedini, dua bersaudara, yang satu lelaki yang satu perempuan.
3. Uger-uger, dua bersaudara, lelaki semua.
4. Lumunting, anak yang lahir tanpa ari-ari.
5. Sendang kapit pancuran, tiga anak yang sulung laki-laki, yang tengah perempuan, dan yang bungsu laki-laki.
6. Pancuran kapit sendang, kebalikan dari nomor 4.
7. Kembang sepasang, dua perempuan semua.
8. Sarimpi, empat orang perempuan semua.
9. Pandawa, lima orang lelaki semua.
10. Pandawi, lima orang perempuan semua.
11. Pandawa ipil-ipil, lima anak, empat perempuan, yang bungsu lelaki.
Dan masih banyak lagi.
Batara Kala, sebagaimana halnya golongan dewa dalam pewayangan lainnya,
tidak pernah mati. Pada zaman pemerintahan Prabu Jayabaya di Kediri,
Batara Kala yang menjelma di dunia sebagai Prabu Yaksadewa, membunuh
Anoman. Pada Wayang Bali, Batara Kala menjadi repertoar satu-satunya
dalam pergelaran Wayang Sapuh Leger, kalau di Pulau Jawa, lakon
Murwakala.
Kisah Batara Kala dalam Wayang Bali adalah sebagai berikut:
Sang Hyang Caturbuja (Batara Guru atau Batara Siwa) mempunyai dua anak,
yaitu Batara Kala dan Hyang Rare Kumara. Ujud mereka sangat berbeda satu
sama lain. Batara Kala berujud raksasa tinggi besar mengerikan. Sedang
Rare Kumara sangat tampan. Mereka lahir pada weton dan wuku yang sama,
yakni wuku Wayang. Karena merasa iri dengan ketampanan adiknya. Batara
Kala berniat hendak memusnahkannya dengan cara memangsanya. Batara Guru
mencegah, tetapi Kala tetap pada niatnya. Akhirnya Batara Guru hanya
dapat menundanya, minta agar Batara Kala memangsa adiknya, kelak jika
Rare Kumara telah berumur tujuh tahun.
Kemudian, agar maksud Batara Kala jangan sampai terlaksana, Batara Guru
menjatuhkan kutuk pastu, Rare Kumara akan tetap kecil, tidak pernah
tumbuh besar selama-lamanya. Maksudnya, agar keadaan Rare Kumara yang
tetap menjadi balita selamanya itu, akan membuat Batara Kala membatalkan
niatnya. Tetapi, tujuh tahun kemudian Batara Kala tetap hendak
melaksanakan niatnya memangsa adiknya. Batara Guru terpaksa mencari akal
lagi untuk menyelamatkan Rare Kumara. Disuruhnya Rare Kumara turun ke
dunia, mengungsi ke Kerajaan Kertanegara. Batara Kala juga tidak tinggal
diam. la juga turun ke dunia memburu adiknya. Dengan menggunakan indra
penciumannya yang amat peka, ia selalu dapat membuntuti adiknya. Di
suatu senja (sande kala — Bhs. Bali), Batara Kala menanti Rare Kumara
yang diperkirakan akan lewat di situ. Ternyata yang ditunggu tidak juga
muncul. Saat itu, Batara Kala melihat dua orang yang sedang bertengkar
di tengah jalan. Karena kesal, Batara Kala memangsa kedua orang itu.
Pengejaran terus berlangsung. Tetapi, setiap kali kepergok, Rare Kumara
selalu dapat meloloskan diri, dengan berbagai muslihat. Antara lain,
Rare Kumara menyelinap dalam rumpun bambu, bersembunyi dalam timbunan
kayu bakar yang tidak diikat, lolos melalui tungku perapian. Setiap kali
Batara Kala kecewa dalam pengejaran Rare Kumara, ia mengutuk setiap
orang yang ceroboh dan menyebabkan Rare Kumara bisa lolos. Kepada Maya
Sura, raja di Kertanegara, Rare Kumara minta perlindungan. Raja itu
menyanggupinya. Seluruh bala tentaranya dikerahkan untuk menghalangi
Batara Kala, namun semua sia-sia. Akhirnya Rare Kumara terpojok, dan
Batara Kala langsung menelannya.
Pada saat itu, Batara Guru dan Batari Uma, istrinya, datang. Mereka
segera menyuruh Batara Kala memuntahkan adiknya. Kala memuntahkan
kembali adiknya, tetapi sesaat kemudian ia berubah pikiran, hendak
memangsa lagi, sekaligus dengan kedua orang tuanya. Alasannya karena
Batara Guru dan Batari Uma datang tepat tengah hari. Batara Guru tidak
menentang kehendak Kala, tetapi sebelum Kala memangsanya, ia minta agar
Kala menjawab dulu teka-tekinya: "Asta pada sad lungayan catur puto dwi purusa bagha eka egul trinabi sad karna dwi srenggi gopa-gopa sapta locanam ...." Teka teki itu dimaksudkan untuk mengulur waktu.
Karena terlalu lama berpikir mencari jawab atas teka-teki itu, matahari
pun menggelicir ke barat. Maka karena itu, hilanglah hak Batara Kala
untuk memangsa Batara Guru clan Batari Uma, karena waktu telah lewat
tengah hari. Hal ini membuat Batara Kala kesal sekali. Kekesalan Batara
Kala ditimpakan kepada pohon kelapa. Dikutuknya pohon itu, sehingga
tidak ada pohon kelapa yang tegak lagi. Semua pohon kelapa akan selalu
tumbuh melengkung.
Pada malam hari, pelarian Rare Kumara sampai ke tempat pertunjukan
wayang. Ki Dalang memberikan perlindungan dengan menyembunyikannya di
resonator gender. Ketika Kala datang, karena sudah terlalu lapar. Batara
Kala memakan sesajen dalang yang ada di situ. Ki Dalang menegurnya, dan
Kala yang merasa bersalah, mengganti sesaji yang telah dimakannya itu
dengan mantra Sakti yang dapat menangkal semua hal buruk yang akan
menimpa makhluk hidup yang leged atau sukerta. Ki Dalang pun bersepakat
dengan Batara Kala, akan mengganti anak yang lahir pada wuku Wayang yang
seharusnya dimangsa Batara Kala, dengan sesaji khusus. Setelah bebas
dari kejaran Batara Kala, Rare Kumara kembali ke kahyangan, berkumpul
dengan ayah ibunya.
BATARI DURGA, sebenarnya, pada mulanya, adalah istri Batara Guru.
Yakni waktu ia masih berwajah cantik, dan masih bernama Dewi Uma atau
Dewi Umayi. Suatu sore menjelang senja, Batara Guru dan Dewi Uma pergi
menghibur diri menunggang Lembu Andini mengangkasa melihat-lihat
pemandangan alam. Di atas lautan dekat Nusakambangan, sewaktu angin
menyingkap kain yang dikenakan Dewi Uma, Batara Guru tergiur melihat
betis istrinya. Ia lalu merayu Dewi Uma dan mengajaknya memadu kasih
saat itu juga di atas punggung Lembu Andini. Namun Dewi Uma menolak
ajakan itu karena merasa hal itu sangat tidak pantas. Batara Guru tidak
menghiraukan penolakan istrinya, dan terns berusaha merayu, sedangkan
Dewi Uma terus berusaha menghindar. Akhirnya, karena tak lagi dapat
menahan hasratnya, keluarlah (mani) Batara Guru, jatuh ke laut.
Penolakan Dewi Uma membuat Batara Guru kesal dan marah. Sepulangnya di
kahyangan mereka bertengkar. Apalagi secara diam-diam Lembu Andini
kemudian saling memanas-manasi mereka. Dalam keadaan marah Dewi Uma
mengatakan: "Perbuatan seperti tadi Kakanda hanya pantas dilakukan oleh
makhluk yang bertaring panjang...." Karena Dewi Uma memiliki kesaktian
tinggi, apa yang diucapkannya itu kemudian terjadi. Bukan main marah
Batara Guru setelah menyadari taringnya tumbuh menjadi panjang. Tanpa
berpikir lagi ia segera membalas mengutuk Dewi Uma menjadi seorang
raseksi (raksasa perempuan).
Versi lain menyebutkan Batara Guru mengutuk Dewi Uma menjadi raksasa
karena adanya pengaduan dari Hyang Wenang bahwa istrinya itu suka
berbuat serong. Tetapi jarang ada dalang, baik dalang Wayang Kulit
Purwa, maupun dalang Wayang Golek Purwa Sunda yang menganut versi ini.
Setelah Baling kutuk mengutuk itu keduanya sama-sama menyesal. Karena
Dewi Uma telah terlanjur berubah ujud menjadi raksasa, maka Batara Guru
menganggapnya tidak pantas lagi menjadi istrinya. Karena itu Batara Guru
lalu menukar badan jasmaninya dengan tubuh Sang Hyang Permoni yang
cantik tetapi berhati dengki dan culas. Sedangkan jiwa Sang Hyang
Permoni dimasukkan ke tubuh Dewi Uma yang telah berujud raksasa itu, dan
diberi nama Batari Durga.
Beberapa saat kemudian datanglah makhluk ganas yang berasal dari kama
benih Batara Guru yang jatuh ke laut itu. Makhluk ini mengamuk di
kahyangan lalu mengajukan tiga tuntutan, yakni minta diakui sebagai
anak, diberi nama, dan diberi istri. Tuntutan ini dikabulkan Batara
Guru. Makhluk itu diberi nama Batara Kala, dan diberi istri Batari
Durga. Mereka diberi tempat di Kahyangan Setra Gandamayi(t), di Hutan
Krendawahana. Di tempat ini mereka berkuasa atas segala macam jin,
gandarwa, hantu, dan makhluk halus lainnya.
Dalam pewayangan, Batari Durga menjadi 'sesembahan' (yang disembah) oleh
mereka yang memiliki sifat suka mengambil jalan pintas. Burisrawa,
misalnya, menyembah dan mohon pertolongan Batari Durga ketika ia tidak
dapat membendung rasa rindunya pada Dewi Subadra, istri Arjuna. Dengan
bantuan Batari Durga, Burisrawa dapat masuk ke Kasatrian Madukara tanpa
diketahui dan kemudian nyaris dapat menodai Subadra. (Lakon Sembadra
Larung)
Lesmana Mandrakumara, putra sulung Prabu Anom Duryudana, juga pernah
minta bantuan Batari Durga agar dapat mempersunting Dewi Pregiwati,
putri Arjuna. Walaupun Durga membantunya, usaha ini gagal dan Dewi
Pregiwati menjadi istri Pancawala, putra Prabu Yudistira.
Kelak, menjelang pecah Baratayuda, Batari Durga pernah dimintai tolong
oleh Dewi Kunti, agar membinasakan gandarwa Kalantaka dan Kalanjaya.
Kedua gandarwa sakti itu mengancam keselamatan Pandawa, karena mereka
hendak membantu Kurawa. Batari Durga bersedia memenuhi permintaan Kunti,
dengan syarat ibu para Pandawa itu harus menyerahkan Sadewa sebagai
kurban. Dewi Kunti tidak sanggup memenuhi permintaan Betari Durga itu.
Namun ternyata akhirnya Batari Durga dapat pulih kembali menjadi
bidadari cantik setelah diruwat oleh Sadewa, salah seorang si kembar
dari keluarga Pandawa. Sadewa sanggup meruwat Batari Durga setelah
tubuhnya disusupi oleh Batara Guru. Peristiwa itu dikisahkan dalam lakon
Sudamala atau Murwakala.
Walaupun pada Wayang Purwa tokoh Batari Durga sering dilukiskan jahat,
bengis, dan menakutkan, beberapa sekte agama di India, terutama di
wilayah utara, Durga dipuja sebagai dewi pelindung. Mereka percaya Durga
adalah Dewi Penolong bagi orang yang sedang terkena musibah atau
menderita karena suatu perlakuan yang tidak adil. Dalam seni kriya
Wayang Kulit Purwa, tokoh Batari Durga digambarkan dengan tiga wanda,
yakni wanda Gidrah, wanda Wewe, dan wanda Gedrug.
Bermula
sejak jaman Arjuna Sasrabahu dari riwayat Sumantri / Patih Suwanda.
Patih Suwanda sebenarnya adalah anak Resi Wisanggeni bernama Sumantri
dan mempunyai seorang adik yang berbadan kontet dan bermuka seperti
raksasa bernama Sukrasana. Resi Wisanggeni adalah kakak Resi Bhargawa
yang melanglang buana mencari Ksatria untuk bertarung dengan dalih
mencari kematian bagi dirinya sendiri — pada akhirnya Resi Bhargawalah
yang membunuh Arjuna Sasrabahu dan dikemudian hari gugur ditangan Rama.
Sumantri menjelma menjadi seorang ksatria yang sakti gagah perkasa
berkat ajaran Resi Wisanggeni, sementara Sukrasana biarpun berbentuk
seperti raksasa mempunyai budi pekerti yang sangat luhur.
Suatu ketika, Sumantri dan Sukrasana sedang berjalan didalam hutan.
Sukarsana yang bertubuh kecil merasa cape dan minta istirahat. Ketika
beristirahat, Sukarsana tertidur pulas dan saat itu juga datanglah
sebuah raksasa lapar yang ingin memakan Sumantri dan Sukarsana. Sumantri
dengan sigap membopong adiknya yang tertidur lelap dan melarikan diri
kedalam hutan. Setelah cukup jauh, Sukarsana dibaringkan di tempat yang
aman sementara Sumantri berusaha menghadang raksasa tersebut. Walau
bertarung sekuat tenaga, Sumantri tidak bisa mengalahkan raksasa
tersebut. Sumantri hampir kehabisan tenaga ketika Betara Indra datang
dan mempersembahkan panah Cakrabiswara kepadanya. Sumantri segera
melepas panah itu kearah sang raksasa dan dalam sekejap raksasa tersebut
mati. Setelah berhasil membunuh raksasa, Sumantri teringat pada adiknya
dan segera mencari Sukarsana. Sumantri sangat terkejut melihat
binatang2 buas di dalam hutan ternyata berkumpul disekililing Sukarsana
demi menjaga keselamatannya. Sumantri bertanya kepada Sukarsana ajian
apa yang dimiliki olehnya sehingga bisa menguasai binatang2 buas.
Sukarsana menjawab bahwa ia tidak memiliki ajian apapun, hanya selama
hidupnya dia tak pernah menganggu ataupun melukai binatang2 sekecil
apapun. Kedua bersaudara kemudian pulang ke padepokan untuk menceritakan
kejadian ini kepada Resi Wisanggeni. Oleh sang resi diceritakan bahwa
orang yang memiliki Cakrabiswara merupakan kekasih Betara Wisnu,
sementara yang dilindungi binatang2 liar artinya adalah orang yang
berbudi luhur dan merupakan kekasih Betara Dharma.
Tak lama setelah itu, Sumantri bertanya kepada Resi Wisanggeni mengenai
kesaktian ilmunya. Sang resi berkata bahwa Sumantri telah menjadi
ksatria yang gagah perkasa dan hanya beberapa orang yang bisa melawan
kesaktiannya. Sumantri kemudian berkata bahwa ilmunya harus digunakan
untuk melayani sesama umat manusia dan dia meminta ijin kepada Resi
Wisanggeni untuk meninggalkan padepokannya. Dengan berat hati Resi
Wisanggeni memberi ijin, tapi Sumantri diharuskan mengabdi kepada Raja
Mayaspati/Maespati (*ngga yakin namanya*) – Prabu Arjuna Sasrabahu yang
terkenal adil bijaksana. Karena kesian pada adiknya, Sumantri sengaja
tidak mengajak Sukarsana karena takut dia akan dicemooh akibat
bentuknya. Sumantripun berangkat menuju Mayaspati ketika Sukarsana
sedang tidur.
Ketika bangun, Sukarsana bingung karena kakaknya telah menghilang.
Sukarsana bertanya kepada Resi Wisanggeni kemana kakaknya menghilang.
Ketika diberitahukan, Sukarsana tidak rela berpisah dengan kakaknya dan
memutuskan untuk mencari kakaknya di Mayaspati. Dalam perjalanannya,
Sukarsana merasa capai dan berisitrahat di sebuah pohon besar yang
teduh. Tiba2 dia dikejutkan oleh suara besar dari dalam pohon itu. Suara
itu berasal dari Candra Birawa yang sedang menunggu kedatangan kekasih
Betara Dharma supaya dirinya bisa menitis kedalam tubuh Sukarsana.
Sukarsana menjadi bingung dan bertanya mengenai asal usul Candra Birawa.
Candra Birawa pun menjelaskan bahwa dirinya sebenarnya diciptakan dari
gabungan raksasa2 yang menyerang Swargaloka. Raksasa2 itu punah
dikalahkan oleh para dewata tapi oleh Betara Guru dihidupkan kembali
menjadi satu badan dan diberi nama Candra Birawa. Tapi Candra Birawa
tidak boleh sembarangan berkeliaran di mayapada, dia diharuskan bersatu
dengan kekasih/keturunan Betara Dharma karena di tangan orang yang
salah, Candra Birawa sangat berbahaya dan bisa menimbulkan kekacauan di
mayapada. Setelah dijelaskan asal usulnya, Sukarasana masih sangsi untuk
memperbolehkan Candra Birawa untuk masuk berdiam dalam tubuhnya. Candra
Birawa kemudian menjelaskan bahwa jika tubuhnya menjadi satu, Sukarsana
akan menjadi lebih sehat dan kuat, selain itu jika dalam kesulitan
Sukarsana tinggal singkep memangil Candra Birawa dan dirinya akan segera
muncul untuk membantu. Dalam pertarungan, Candra Birawa sangat sakti
karena setiap tetes darahnya akan menjadi Candra Birawa baru. Sukarsana
pun setuju dan memperbolehkan Candra Birawa untuk masuk ke dalam
tubuhnya. Dalam hatinya, Sukarsana berpikir bahwa Candra Birawa ini
lebih cocok jika diberikan kepada saudaranya Sumantri.
Sementara itu, Sumantri telah mengabdi kepada Arjuna Sasrabahu dan
berhasil merebut Dewi Citrawati. Sumantri juga sempat bertarung dengan
Arjuna Sasrabahu dan yakin bahwa Arjuna Sasrabahu merupakan raja yang
gagah sakti tanpa tandingan (Sumantri sempat seri melawan Arjuna
Sasrabahu tapi langsung ketakutan begitu sang prabu menjadi marah dan
bertiwikrama, ini merupakan bukti bahwa Arjuna Sasrabahu merupakan
titisan Betara Wisnu). Dewi Citrawati kemudian mempunyai permintaan
kepada Arjuna Sasrabahu, yaitu untuk memindahkan taman Sri Wedari dari
swargaloka ke dalam Mayaspati. Tanpa berpikir panjang, Sumantri
mengiakan permintaan Dewi Citrawati. Kemudian Sumantri ditinggal oleh
Arjuna Sasrabahu dan Dewi Citrawati kedalam istana. Sumantri menjadi
bingung, karena jangankan memindahkan taman Sri Wedari, letaknya saja
dia tak tahu. Dalam keadaan linglung, Sumantri bertemu dengan adiknya
Sukarsana yang sedang mencari dirinya. Sumantri bahagia melihat adiknya
tapi kaget bahwa adiknya bisa sampai ke Mayaspati dengan selamat karena
perjalannya jauh dan juga berbahaya. Oleh Sukarsana diceritakan mengenai
Candra Birawa yang bersemayam di dalam dirinya. Sumantripun bahagia
mendegar cerita adiknya tapi ketika teringat janjinya untuk memindahkan
taman Sri Wedari dia kembali muram. Sukarsana sangat mengerti kakaknya,
dalam sekejap dia tahu bahwa kakaknya sedang kepikiran sesuatu. Ketika
ditanyakan, Sumantri menceritakan janjinya untuk memindahkan taman Sri
Wedari. Sukarsana berpikir bahwa Candra Birawa bisa membantu abangnya
untuk menyanggupi permintaan itu. Dengan singkep sebentar, Candra Birawa
segera tampil dihadapan Sukarsana dan Sumantri. Sukarsana
memberitahukan kesusahan kakaknya kepada Candra Birawa. Candra Birawa
segera tahu bahwa yang meminta taman Sri Wedari pastilah titisan istri
Betara Wisnu. Candra Birawa berkata bahwa dia bisa melakukan tugas
tersebut tanpa masalah, Sukarsana dan Sumantripun diminta singkep
menutup seluruh panca indra sementara Candra Birawa memindahkan taman
tersebut. Dalam sekejap Candra Birawa menjadi ribuan dan taman Sri
Wedari pun dipindahkan dari swargaloka ke Mayaspati.
Setelah berhasil, Sukarsana berniat untuk ikut dengan kakaknya mengabdi
di Mayaspati. Sumantri kembali tidak tega dan menyuruh Sukarsana kembali
ke padepokan. Tapi Sukarsana tetap bersikeras, Sumantripun mengeluarkan
Cakrabiswara untuk menakut nakuti adiknya. Tanpa disangka2, Sukarsana
tersandung dan tubuhnya tertusuk Cakrabiswara. Sebelum meninggal
Sukarsana berkata pada kakaknya bahwa dia tidak sempat memberikan Candra
Birawa kepada Sumantri dan memohon kepada dewata agar di kehidupan
selanjutnya Sukarsana bisa kembali dekat dengan kakaknya.
Di kemudian hari, Sumantri menitis kepada Narasoma (Prabu Salya)
sementara Sukarsana (+ Candra Birawa) menitis kepada Resi Bagaspati yang
juga berbentuk seperti raksasa hanya tidak kontet.
Resi Bagaspati mempunyai seorang putri bernama Dewi Pujawati, suatu
ketika Narasoma sedang berburu dan ketika melihat Dewi Pujawati langsung
terkesima oleh kecantikannya. Narasomapun mengikuti Dewi Pujawati untuk
bertemu Resi Bagaspati.
Ketika keduanya ditanya oleh Resi Bagaspati, mereka berkata bahwa telah
mencintai satu sama lain. Narasoma dan Pujawati pun dinikahkan saat itu
juga oleh Resi Bagaspati. Narasoma sangat sayang pada istrinya Pujawati,
tetapi ketika ditanya seperti apa cintanya kepada Pujawati, Narasoma
berkata bahwa cintanya seperti beras putih yang bersih. Kemudian
Narasoma menambahkan bahwa sayang beras putih pun ada gabahnya. Pujawati
sangat bingung oleh perkataan Narasoma dan dia bertanya kepada Resi
Bagaspati. Sang resi yang bijaksana segera tahu bahwa yang dimaksud oleh
Narasoma ialah dirinya, karena tidak mungkin seorang pangeran penerus
tahta kerajaan mempunyai mertua seorang raksasa. Sang resi menenangkan
Pujawati dan menyuruhnya untuk memanggil Narasoma. Ketika Narasoma
menghadap Resi Bagaspati, dijelaskan bahwa dalam tubuh Resi Bagaspati
bersemayam Candra Birawa sebuah mahkluk berbadan halus yang sangat
sakti.
Karena Narasoma kini bertanggung jawab akan keselamatan Pujawati, Resi
Bagaspati akan memberikan Candra Birawa kepadanya. Mereka berdua
kemudian bersemedi dan terlihat Candra Birawa pindah dari Resi Bagaspati
ke tubuh Narasoma. Sang resi kemudian lanjut semedinya dengan menahan
napas, tak lama kemudian tubuh Resi Bagaspati menghilang dari pandangan.
Pujawati yang melihat kejadian ini menjadi kaget dan menangis.
Sementara itu Narasoma mendegar suara sang resi yang menjelaskan bahwa
dia sebenarnya adalah titisan Sukarsana yang ingin dekat pada kakanya
Somantri yang menitis pada tubuh Narasoma. Resi Bagaspati bersemedi
untuk mendapat anak perempuan yang bisa dijodohkan dengan dirinya dan
juga supaya bisa mewariskan Candra Birawa tapi sayang pada akhirnya
Narasomapun telah berbuat salah kepada Resi Bagaspati seperti Somantri
bersalah kepada Sukarsana. Narasoma kemudian diwanti2 bahwa mulai saat
itu dia harus berhati2 kepada titisan/kekasih betara Dharma yang
berikutnya karena pada saat itu dia akan gugur. Narasoma kemudian
perganti nama menjadi Prabu Salya setelah menjadi raja.
Dalam perang Bharatayuda, Prabu Salya diangkat menjadi panglima
perang Hastina sebagai pengganti Karna (urutannya:
Bisma,Dorna,Karna,Salya).
Begitu melihat Prabu Salya turun ke medan danalaga, Sri Kresna segera
mawas bahwa dia akan menjadi lawan yang berbahaya. Seluruh pasukan
Pandawa diwanti2 supaya jangan gegabah melawan ksatria yang satu ini.
Bimapun dengan sombongnya berkata bahwa Prabu Salya sudah tua dan
kesaktiannya berkurang bisa dikalahkan oleh dirinya. Sri Kresna segera
menceritakan kepada Bima dan Arjuna bahwa Prabu Salya memiliki Candra
Birawa yang sangat berbahaya dan tidak boleh dianggap remeh.
Ketika perang dimulai, Bima segera menggasak tentara Kurawa. Prabu Salya
sebagai panglima perang memajukan dirinya untuk mencegah Bima. Prabu
Salya kewalahan melawan kekuatan Bima dan memutuskan untuk memanggil
Candra Birawa. Bimapun bertarung dengan Candra Birawa tapi semakin lama
Bima menjadi capai sementara Candra Birawa tetap mengganas. Arjuna yang
melihat kakaknya dalam bahaya segera melepas panah. Sayangnya panah
Arjuna melukai Candra Birawa, dan setiap tetes darahnya menjadi Candra
Birawa baru. Bima semakin kewalahan melawan ratusan Candra Birawa, dan
barisan pasukan Pendawa juga semakin hancur diobrak abrik.
Melihat kejadian ini Sri Kresna segera mendatangi Arjuna dan mencegahnya
untuk memanah Candra Birawa. Kemudian Sri Kresna bergerak ke garis
belakang untuk bertemu Yudistira. Sri Kresna berkata bahwa Yudistira
harus maju ke medan perang untuk mengalahkan Prabu Salya demi kemenangan
Pendawa karena hanya Yudistiralah yang bisa mengalahkannya sebagai
titisan Betara Dharma. Yudistira yang dikusiri oleh Nakula segera
memasuki medan perang dan bertemu langsung dengan Prabu Salya. Yudistira
segera memohon ampun kepada Prabu Salya atas kelancangannya berani
melawan Prabu Salya. Prabu Salya menjawab bahwa dalam medan perang tidak
perlu merasa lancang karena ini merupakan tugas Yudistira sebagai raja
untuk membela tentaranya. Yudistira pun menjawab bahwa seumur hidup dia
tidak bisa melukai orang, dia rela mengorbankan dirinya asalkan Candra
Birawa ditarik kembali kedalam tubuh Prabu Salya. Sayangnya Candra
Birawa tidak bisa ditarik kembali sebelum tugasnya selesai yaitu
memusnahkan tentara Pendawa. Yudistira dengan berat hati mengambil busur
dan panah. Tapi Yudistira tidak berani mengarahkan panahnya kepada
Prabu Salya, panahnya kemudian diarahkan ke bawah. Dengan ajaib, panah
Yudistira yang menyentuh tanah langsung memantul dan mengenai Prabu
Salya. Prabu Salyapun gugur, sesuai dengan yang dikatakan Resi
Bagaspati.
Sekedar tambahan, sebenarnya Candra Birawa pernah sekali ditarik sebelum
tuntas tugasnya. Kejadiannya ketika Narasoma bertarung melawan Pandu
untuk memperebutkan Dewi Kunti. Pandu telah memenangkan sayembara dan
Narasoma menantang Pandu dengan taruhan Dewi Madrim adiknya menjadi
istri Pandu jika Narasoma kalah. Ketika bertarung, Narasoma kewalahan
melawan kesaktian Pandu dan memanggil Candra Birawa. Akibatnya Pandu
menjadi terdesak karena keris pusakanya tidak mempan terhadap Candra
Birawa dan malahan menambah jumlah Candra Birawa. Pandu kemudian
mengejek bahwa Narasoma tidak bisa bertarung sendiri perlu minta
bantuan. Narasoma dengan sombongnya berkata bahwa Pandu juga bisa
meminta bantuan kedua sodaranya, bahkan mengejek bahwa Dasarata disuruh
maju kedepan biar diinjak2 oleh Candra Birawa. Mendengar ejekan
Narasoma, Dasarata menjadi marah dan menyuruh Widura untuk menuntunnya
kearah pertarungan. Setelah ditutun, Dasarata segera menyuruh Widura
untuk menyingkir dan kemudian berteriak kepada Pandu supaya datang ke
arah Dasarata. Pandu yang cerdas segera tahu rencana kakaknya itu dan
segera melesat ke arahnya. Ketika Candra Birawa mengejar Pandu ke arah
Dasarata, Pandu segera berdiri di belakang kakaknya dan Dasarata segera
mengeluarkan Ajian Kumbalageni. Ajian Kumbalageni merupakan ajian
dashyat yang membuat apa saja yang disentuh oleh Dasarata hancur menjadi
debu. Candra Birawa tidak kuat melawan kesaktian ini dan kembali
kedalam tubuh Narasoma. Pandu pun bergerak secepat kilat menyerang
Narasoma, pukulan Pandu menyebabkan Narasoma terpental. Narasoma
akhirnya mengaku kalah kepada Pandu dan berangkat menjemput Dewi Madrim
untuk diberikan kepada Pandu.
Arca
Bhairawa Museum Nasional di Jakarta ditemukan di kawasan persawahan di
tepi sungai di Padang Roco, Kabupaten Sawahlunto, Sumatera Barat. Arca
Bhairawa dengan tinggi hampir 3 meter ini merupakan jenis arca
Tantrayana. Arca Bhairawa tidak dalam kondisi utuh lagi, terutama
sandarannya. Arca ini tidak banyak dijumpai di Jawa, karena berasal dari
Sumatera. Sebelum ditemukan hanya sebagian saja dari arca ini yang
menyeruak dari dalam tanah. Masyarakat setempat tidak menyadari bahwa
itu merupakan bagian dari arca sehingga memanfaatkannya sebagai batu
asah dan untuk menumbuk padi. Hal ini dapat dilihat pada kaki sebelah
kirinya yang halus dan sisi dasar sebelah kiri arca yang berlubang.
Arca Bhairawa memegang mangkuk dan belati (foto: Arie saksono)
Arca
Bhairawa tangannya ada yang dua dan ada yang empat. Namun arca di sini
hanya memiliki dua tangan. Tangan kiri memegang mangkuk berisi darah
manusia dan tangan kanan membawa pisau belati. Jika tangannya ada empat,
maka biasanya dua tangan lainnya memegang tasbih dan gendang kecil
yang bisa dikaitkan di pinggang, untuk menari di lapangan mayat damaru/
ksetra. Penggambaran Bhairawa membawa pisau konon untuk upacara ritual
Matsya atau Mamsa. Membawa mangkuk itu untuk menampung darah untuk
upacara minum darah. Sementara tangan yang satu lagi membawa tasbih.
Wahana atau kendaraan Syiwa dalam perwujudan sebagi Syiwa Bhairawa
adalah serigala karena upacara dilakukan di lapangan mayat dan serigala
merupakan hewan pemakan mayat.Walaupun
banyak di Sumatera, beberapa ditemukan juga di Jawa Timur dan Bali.
Bhairawa merupakan Dewa Siwa dalam salah satu aspek perwujudannya.
Bhairawa digambarkan bersifat ganas, memiliki taring, dan sangat besar
seperti raksasa. Bhairawa yang berkategori ugra (ganas).
Siwa berdiri di atas mayat bayi korban dan tengkorak (foto: arie saksono)
Arca Perwujudan Adityawarman
Arca
ini berdiri di atas mayat dengan singgasana dari tengkorak kepala.
Arca Siwa Bhairawa ini konon merupakan arca perwujudan Raja
Adithyawarman, pendiri Kerajaan Pagaruyung di Sumatra Barat pada tahun 1347. Nama Adityawarman sendiri berasal dari kata bahasa Sansekerta, yang artinya kurang lebih ialah “Yang berperisai matahari” (adhitya: matahari, varman: perisai). Adithyawarman
adalah seorang panglima Kerajaan Majapahit yang berdarah Melayu. Ia
adalah anak dari Adwaya Brahman atau Mahesa Anabrang, seorang senopati
Kerajaan Singasari yang diutus dalam Ekspedisi Pamalayu dan Dara Jingga,
seorang puteri dari raja Sri Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa dari Kerajaan Dharmasraya.Kitab
Pararaton menyebutkan bahwa Raden Wijaya memperistri seorang putri
Sumatera bernama Dara Petak dan memiliki anak yang bernama Kalagemet.
Seorang kerabat raja bergelar “dewa” (bangsawan) memperistri putri
lainnya bernama Dara Jingga, dan memiliki anak yang bernama “Tuhan Janaka“, yang lebih dikenal sebagai Adityawarman.Di
dekat Istano Basa, Batusangkar, ada sekelompok batu prasasti yang
menceritakan tidak saja sejarah Minang, tapi sepenggal sejarah Nusantara
secara utuh. Dari buku panduan disebutkan bahwa batu-batu prasasti
yang disebut “Prasasti Adityawarman” itu menghubungkan Nusantara secara
keseluruhan berkaitan dengan Kerajaan Majapahit.
Di
dalam beberapa babad di Jawa dan Bali, Adityawarman juga dikenal
dengan nama Arya Damar dan merupakan sepupu sedarah dari pihak ibu
dengan Raja Majapahit kedua, yaitu Sri Jayanegara atau Raden Kala
Gemet. Diperkirakan Adityawarman dibesarkan di lingkungan istana
Majapahit, yang kemudian membuatnya memainkan peranan penting dalam
politik dan ekspansi Majapahit. Saat dewasa ia diangkat menjadi Wrddhamantri atau menteri senior, bergelar “Arrya Dewaraja Pu Aditya“.
Demikian pula dengan adanya prasasti pada Candi Jago di Malang
(bertarikh 1265 Saka atau 1343 M), yang menyebutkan bahwa Adityawarman
menempatkan arca Maňjuçrī (salah satu sosok bodhisattva) di tempat pendarmaan Jina (Buddha) dan membangun candi Buddha di Bumi Jawa untuk menghormati orang tua dan para kerabatnya.
Adityawarman, Majapahit dan Pagaruyung
Adityawarman
turut serta dalam ekspansi Majapahit ke Bali pada tahun 1343 yang
dipimpin oleh Gajah Mada. Babad Arya Tabanan, menyebutkan bahwa Gajah
Mada dibantu seorang ksatria keturunan Kediri bernama Arya Damar, yang
merupakan nama alias Adityawarman. Diceritakan bahwa ia dan
saudara-saudaranya membantu Gajah Mada memimpin pasukan-pasukan
Majapahit untuk menyerbu Pejeng, Gianyar, yang merupakan pusat Kerajaan
Bedahulu, dari berbagai penjuru. Kerajaan Bedahulu adalah kerajaan kuno
yang berdiri sejak abad ke-8 sampai abad ke-14 di pulau Bali, dan
diperintah oleh raja-raja keturunan dinasti Warmadewa. Ketika
menyerang Bali, Raja Bali yang menguasai saat itu adalah seorang
Bhairawis penganut ajaran Tantrayana. Untuk mengalahkan Raja Bali itu,
maka Adityawarman juga menganut Bhairawis untuk mengimbangkan kekuatan.
Pertempuran yang terjadi berakhir dengan kekalahan Bedahulu, dan patih
Bedahulu Kebo Iwa gugur sementara raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten
pergi mengasingkan diri. Setelah Bali berhasil ditaklukan, Arya Damar
(Adityawarman) kembali ke Majapahit dan diangkat menjadi raja di
Palembang. Sebagian saudara-saudara Arya Damar ada yang menetap di Bali,
dan di kemudian hari salah seorang keturunannya mendirikan Kerajaan
Badung di Denpasar.
Pada saat melakukan politik ekspansi di tanah Melayu, Adityawarman diberi tanggung jawab sebagai wakil (uparaja)
Kerajaan Majapahit. Segera setelah Adityawarman tiba di Sumatera, ia
menyusun dan mendirikan kembali Kerajaan Mauliawarmmadewa, menaklukan
sisa-sisa Kerajaan Sriwijaya, dan akhirnya juga mendirikan Kerajaan
Pagarruyung/ Pagaruyung (Minangkabau) di Sumatra Barat dan mengangkat
dirinya sebagai Mahãrãjãdhirãja (1347). Sepeninggalnya,
kekuasaan Adityawarman di Pagaruyung diteruskan oleh anaknya yang
bernama Ananggawarman. Keturunan Adityawarman dan Ananggawarman
selanjutnya agaknya bukanlah raja-raja yang kuat. Pemerintahan kemudian
digantikan oleh orang Minangkabau sendiri yaitu Rajo Tigo Selo, yang dibantu oleh Basa Ampat Balai.
Daerah-daerah Siak, Kampar dan Indragiri kemudian lepas dan
ditaklukkan oleh Kesultanan Malaka dan Kesultanan Aceh, dan kemudian
menjadi kerajaan-kerajaan merdeka.
Aliran Tantrayana
Menurut
catatan sejarah, Raja Kertanegara dari Kerajaan Singasari, saat
diserang oleh tentara Kerajaan Kediri (1292) sedang pesta makan minum
sampai mabuk. Kenyataannya adalah bahwa pada saat serbuan tentara Kediri
tersebut Kertanegara bersama dengan para patihnya, para Mahãwrddhamantri dan para pendeta-pendeta terkemukannya sedang melakukan upacara-upacara Tantrayana.
Arca Bhairawa perwujudan Raja Kertanegara dari Candi Singosari kini masih tersimpan di Tropen Museum Leiden Belanda
Replika Arca Bhairawa perwujudan Raja Kertanegara dari Candi Singosari di Museum Nasional Jakarta (foto: arie saksono)
Kertanegara
adalah seorang penganut setia aliran Budha Tantra. Prasasti tahun 1289
pada lapik arca Joko Dolok di surabaya menyatakan bahwa Krtanegara
telah dinobatkan sebagai Jina (Dhyani Buddha) yaitu sebagai Aksobya,
dan Joko Dolok itu adalah arca perwujudannya. Sebagai Jina, Kertanegara
bergelar Jnanaciwabajra. Setelah wafat ia dinamakan Çiwabuddha yaitu dalam kitab Pararaton dan dalam Nagarakartagama >Mokteng (yang wafat di) Çiwabuddhaloka sedangkan dalam prasasti lain >Lina ring (yang wafat di) Çiwabuddhalaya. Kertanegara dimuliakan di Candi Jawi sebagai Bhatara Çiwabuddha/ SiwaBuddha di Sagala bersama dengan permaisurinya Bajradewi, sebagai Jina (Wairocana) dengan Locana dan di Candi Singosari sebagai Bhaiwara.
Istilah Tantrayana ini berasal dari akar kata “Tan” yang
artinya memaparkan kesaktian atau kekuatan daripada Dewa itu. Di India
penganut Tantrisme banyak terdapat di India Selatan dibandingkan
dengan India Utara. Kitab kitab yang memuat ajaran Tantrayana banyak
sekali antara lain : Maha Nirwana Tantra, Kularnawa Tantra, Tantra Bidhana, Yoginirdaya Tantra, Tantra sara.
Tantrayana berkembang luas sampai ke Cina, Tibet, dan Indonesia dari
Tantrisme munculah suatu faham “Bhirawa” atau “Bhairawa” yang artinya
hebat.
Ciri khas arca aliran Tantrayana berdiri di atas tengkorak (foto: arie saksono)
Paham
Bhirawa secara khusus memuja kehebatan daripada sakti, dengan
cara-cara khusus. Bhairawa berkembang hingga ke Cina, Tibet, dan
Indonesia. Di nusantara masuknya saktiisme, Tantrisma dan Bhairawa,
dimulai sejak abad ke VII melalui kerajan Sriwijaya di Sumatra,
sebagaimana diberikan terdapat pada prasasti Palembang tahun 684,
berasal dari India selatan dan Tibet. Dari bukti peninggalan purbakala
dapat diketahui ada tiga peninggalan purbakala yaitu : Bhairawa Heruka yang terdapat di Padang Lawas Sumatra barat, Bhairawa Kalacakra yang dianut oleh Kertanegara – Raja Singasari Jawa Timur, serta oleh Adityawarman pada zaman Gajah Mada di Majapahit, dan Bhairawa Bima di Bali yang arcanya kini ada di Kebo Edan – Bedulu Gianyar.
Dalam
upacara memuja Bhairawa yang dilakukan oleh para penganut aliran
Tantrayana yaitu cara yang dilakukan oleh umat Hindu/ Budha untuk dapat
bersatu dengan dewa pada saat mereka masih hidup karena pada umumnya
mereka bersatu atau bertemu dengan para dewa pada saat setelah meninggal
sehingga mereka melakukan upacara jalan pintas yang disebut dengan
Upacara ritual Pancamakarapuja.
Pancamakarapuja adalah upacara ritual dengan melakukan 5 hal yang dilarang dikenal dengan 5 MA:
MADA atau mabuk-mabukan
MAUDRA atau tarian melelahkan hingga jatuh pingsan
MAMSA atau makan daging mayat dan minum darah
MATSYA atau makan ikan gembung beracun
MAITHUNA atau bersetubuh secara berlebihan
Mereka melakukan upacara tersebut di Ksetra atau lapangan untuk membakar mayat atau kuburan sebelum mayat di bakar saat gelap bulan.
Pada
zaman dahulu penjagaan keamanan dan pengendalian pemerintahan di
wilayah kekuasaan berdasarkan pada kharisma dan kekuasaan raja.
Kertanegara menganut Bhairawa Kalacakra untuk mengimbangi kekuatan
Kaisar Khu Bhi Lai Khan di Cina yang menganut Bhairawa Heruka. Kebo
Paru, Patih Singasari menganut Bhairawa Bhima untuk mengimbangi Raja
Bali yang kharismanya sangat tinggi pada jaman itu. Adityawarman
menganut Bhairawa Kalacakra untuk mengimbangi raja-raja Pagaruyung di
Sumatra barat yang menganut Bhairawa Heruka.
Aliran-aliran
Bhairawa cenderung bersifat politik, untuk mendapatkan kharisma besar
yang diperlukan dalam pengendalian pemerintahan dan menjaga keamanan
wilayah kekuasaan (kerajaan), seperti halnya pemimpin dari kalangan
militer di masa sekarang. Karena itu raja-raja dan petinggi pemerintahan
serta pemimpin masyarakat pada zaman dahulu banyak yang menganut
aliran ini.
Rakyat Indonesia
yang terdiri dari bermacam-macam suku, sejak dahulu memeluk agama yang
berbeda-beda. Tantrayana adalah suatu aliran atau sekte yang pada masa
lampau pernah cukup banyak pemeluknya dan berkembang luas di
Indonesia; bahkan raja Kertanegara dari kerajaan Singasari adalah
seorang penganut yang taat dari agama Budha Tantra.
Raja Kertanegara dari kerajaan Singasari di Jawa Timur adalah
seorang raja yang sangat taat melaksanakan ajaran Tantrayana. Beliau
hidup berpesta pora di dalam istana bersama-sama dengan mentri-mentri
dan para pendeta terkemuka. Bahkan ketika Singasari diserbu oleh
pasukan kerajaan Kediri pun mereka sedang mengadakan pesta pora, tetapi
upacara pesta pora, makan minum besar-besaran tersebut bukan sebagai
pesta biasa, melainkan raja bersama para mentri dan pendeta itu sedang
melakukan upacara-upacara Tantrayana (Soekmono, 1959 : 60).
Untuk mengungkapkan perkembangan Tantrayana di Bali maka uraian
tidak bisa lepas dari hubungan Bali dengan Jawa Timur, yang dimulai
dengan perkimpoian raja Dharma Udayana Warmadewa di Bali dengan seorang
putri raja Jawa Timur yang bernama Sri Gunapriyadharmapatni. Beliau
adalah putri Makutawangsawardhana, sedangkan Makutawangsawardhana
adalah cucu raja Sindok. Pada masa pemerintahan Raja Sindok di Jawa
Timur Tantrayana telah berkembang. Pada waktu itu telah disusun kitab
Sang Hyang Kamahayanikan yang menguraikan soal-soal ajaran dan ibadah
agama Budha Tantra. Kemungkinan bahwa Sri Gunapriyadharmapatni atau
Mahendradhatta pun telah terpengaruh oleh aliran itu di tempat asalnya
di Jawa timur, sebab di Bali jaman pemerintahan raja Dharma Udayana
Warmadewa dan Gunapriyadharmapatni merupakan jaman hidup suburnya
perkembangan ilmu-ilmu gaib. Cerita Calon Arang yang sangat terkenal di
Bali dihubungkan dengan kehidupan Mahendradhatta. Di dalam Lontar
Calon arang ada diuraikan bagaimana memuja Hyang Bhairawi atau Dewi
Durga untuk mendatangkan wabah penyakit di dalam negeri Kerajaan
Airlangga. Calon arang dan muridnya menari-nari di atas mayat-mayat
yang telah dihidupkan kembali untuk persembahan Dewi Durga sebagai
korban agar semua kehendaknya bisa dikabulkan. Cara-cara seperti itu
adalah hal yang biasa di dalam Tantrayana.
Permaisuri Mahendradhatta mangkat lebih dahulu dari raja Udayana
dan didharmakan di Burwan, Kutri, Gianyar. Di tempat itu beliau
diwujudkan dalam bentuk arca besar Durgamahisasuramardhini. Arca itu
merupakan Bhatari Durga yang sedang membunuh asura (setan) yang berada
pada badan seekor kerbau besar (Goris, 1048 : 6). Arca itu menguatkan
dugaan orang bahwa Mahendradhatta sebagai penganut ajaran-ajaran ilmu
gaib dan Dewi Durgalah yang menganugerahi kesaktian (Shastri, 1963 :
49). Kendatipun dalam cerita calon arang banyak keadaan yang bercampur
baur dan keliru, tapi mungkin ada dasar-dasarnya yang benar bahwa
Mahendradhatta dilukiskan sebagai Calon Arang (Goris, 1948 : 7). Dengan
demikian maka kemungkinan pada sekitar abad X Tantrayana telah
berkembang di Bali.
Kemudian pada sekitar abad XIII di Jawa Timur memerintah raja
Kertanegara sebagai raja terakhir kerajaan Singasari. Raja ini terkenal
dalam ilmu politik luar negerinya ingin meluaskan daerah kekuasaannya
ke Barat sampai ke Bali. Menurut kitab Negarakertagama raja Kertagama
pada tahun 1280 masehi membunuh orang jahat yang bernama Mahisa Rangkah
dan selanjutnya dikatakan bahwa pada tahun 1284 beliau telah menyerang
Bali dan rajanya ditawan (Krom, 1956 : 188). Hal itu tercantum dalam
kitab Negarakertagama di katakana sebagai berikut :
Tahun saka : yama sunti hari baginda raja membrantas penjahat
Mahisa Rangga, karena jahat tingkah lakunya dibenci seluruh negara.
Tahun saka : badan-badan langit hari kirim utusan untuk menghancurkan
Bali setelah kalah rajanya menghadap baginda sebagai orang tawanan
(Prapanca, 1953 : 38).
Sayang sekali di dalam buku Negarakertagama itu tidak ada disebutkan
nama raja Bali itu. Prasastinya hingga kini belum ditemukan di Bali,
sehingga sulit bagi kita untuk mengetahui nama-nama raja di Bali pada
waktu itu. Dr. R. Goris di dalam kitabnya Sejarah Bali Kuna (1948)
menyebutkan bahwa ada dua buah prasasti yang berangka tahun caka 1218
dan caka 1222, yang tidak menyebutkan nama raja, tetapi banyak
menyebutkan nama “Raja Patih” yakni Kebo Parud. Nama-nama dan pangkat
mentri lainnya juga bercorak Jawa seperti mentri-mentri kerajaan
Singasari.
Prasasti pertama yang dikeluarkan oleh Kebo Parud berangka tahun
caka 1218 berisikan persoalan dan kebengisan. Patih di dalam prasasti
itu dikenal sebagai “Mwang Ida Raja Patih I mekakasir Kebo Parud”
(Goris, 1948 : 11). Berdasarkan nama patih itu dan isi prasasti
ternyata patih itu seorang pegawai negara yang berasal dari Jawa Timur.
Nama semacam itu di Kerajaan Singasari sering dipakai sebagai nama
patih raja Kertanegara antara lain Patih Kebo Arema dan Raganatha,
Patih Kebo Tengah atau Aragani. Kemungkinan Patih Kebo Parud bertugas
sebagai seorang Gubernur atau semacam itu yang mewakili pemeritah
Singasari di Bali. Prasasti lainnya dari Kebo Parud berangka tahun caka
1222 yang menguraikan tentang desa Sukawati yang terletak di
perbatasan Min Balingkang. Dalam prasasti ini terdapat kata-kata ;
Mpukwing, Dharma Anyar, Mpukwing istana raja, Mpukwing dewa istana.
Agama yang dianut Patih Kebo Parud rupa-rupanya adalah Tantrayana. Dalam
prasasti-prasastinya pun tidak terdapat sapatha yang ditujukan kepada
Maha Rsi Agastya, sering terdapat dalam prasasti-prasasti yang
ditemukan di Bali yang dikeluarkan lebih dahulu.
Pada sekitar abad ke XIII di kerajaan Singasari Jawa Timur memang
sedang berkembang bahkan menjadi pusat alian Tantrayana dan sebagai
pemimpinnya adalah raja Kertanegara sendiri yang memerintah tahun 1268 -
1292.
Dari jaman Kebo Parud di Bali, didaerah Pejeng didapatkan sebuah
arca Bhaiwara. Arca itu tingginya 360 cm dengan bentuk badannya yang
besar dan tegap, berdiri di atas mayat manusia. Bentuknya yang demikian
menunjukkan dewa Siwa dalam keadaan marah (krodha). Arca di tempatkan
pada satu bangunan yang disebut Pelinggih Bhatara Siwa Bhairawa. Bentuk
arca itu serupa dengan arca Bhairawa di Singasari. Kemungkinan besar
bahwa latihan-latihan Tantrayana dilakukan pula pada masa pemerintahan
pegawai-pegawai kerajaan Singasari di Bali. Arca Bhairawa yang terdapat
di daerah Pejeng itu disimpan di daerah Pura Kebo Edan. Sebutan Siwa
Bhairawa oleh penduduk di sekitar pura itu menunjukkan bahwa arca itu
adalah sebuah arca yang dibuat oleh para penganut Tantrayana untuk
kepentingan upacara-upacara kepercayaan.
Selain arca Siwa Bhairawa tersebut di atas, di halaman pura Kebo
Edan terdapat pula arca-arca raksasa. Satu arca itu ditempatkan pada
satu bangunan kecil di muka sebelah kanan arca Siwa Bhairawa, sedangkan
satu lagi ditempatkan pada satu bangunan di sebut Pelinggih Bhatara
Kebo Edan. Kedua arca raksasa masing-masing tangannya membawa
mangkok-mangkok darah yang dihiasi dengan hiasan-hiasan tengkorak.
arca-arca itu dalam sikap berdiri, roman mukanya sangat mengerikan
dengan mata melotot. Demikian pula seluruh kepala dan lehernya dihiasi
dengan rangkaian tengkorak, sambil mengisap darah musuhnya dari mangkok
darah yang dibawanya. Telinganya menggunakan anting-anting dengan
hiasan tengkorak pula. Kedua arca itu mempunyai tinggi sama yaitu 130
cm.
Arca-arca tersebut di atas mengingatkan akan nama Chakrachakra
yaitu sebuah arca Bhairawa di candi Singasari, Jawa Timur, yang
tingginya 167 cm. Arca itu duduk di atas seekor anjing atau Srigala
dalam keadaan telanjang bulat dengan hiasan-hiasan tengkorak dan
kepala-kepala manusia pada seluruh badannya. Atribut pada tangan arca
ialah sebuah pisau besar, trisula, gendang, dan mangkok tengkorak.
Arca serupa juga terdapat di Candi Biaro Bahal II, Padang Lawas,
Batak dan Sumatra Tengah. Di tengah-tengah ruangan candi terdapat
sebuah arca Heruka bersifat mengahncurkan. Wajahnya selalu membayangkan
sifat merusak dan lebih hebat lagi terlihat pada saat dewa kejam itu
sedang dalam puncak kemarahannya. Demikianlah pada jaman itu di candi
Biaro Bahal itu telah diadakan upacara sukar ria yang melampui batas
dan sangat menggemparkan dimana darah para korban di tumpahkan kedalam
sungai. Dewa menari-nari di atas mayat manusia. Atribut arca Heruka
ialah wajra atau kilap disertai petir pada tangan kanan, mangkuk
tengkorak pada tangan kiri, tangkai katwanggu (Trisula dihiasi dengan
tengkorak-tengkorak, kepala manusia dan sebagainya) menekan pada
badannya. Tengkorak-tengkorak menghiasi kepala dan badannya. Keajaiban
seperti itu dalam upacara-upacara Tantrayana adalah biasa dan merupakan
keharusan disertai dengan tertawa yang hebat, hal itu dipahatkan dalam
salah satu prasasti di Padang Lawas : ha - ha - ha - ha - ha - hum hu -
hu - he - hai hohu- aha - ha - om ah hum. Demikianlah gelak tertawa
yang terpahat pada sebuah prasasti.
Dengan demikian rupanya pembuatan arca-arca Siwa Bhairawa dengan
sikpanya yang dahsyat dan garang serta menari-nari di atas mayat
manusia. Juga arca-arca raksasa yang membawa mangkuk-mangkuk darah
sambil menghisap darah dari dalam mangkuk-mangkuk darah serta kerbau
gila di pura Kebo Edan, kemungkinan besar dibuat adalah dalam hubungan
kepentingan melakukan upacara Tantrayana. Demikianlah pada sekitar abad
XIII Tantrayana Siwa Tantra atau Siwa Bhairawa berkembang luas di
Bali.
Jadi Tantrayana pernah berkembang luas di Indonesia khususnya di
Bali dalam bentuknya Siwa Tantra atau lebih dikenal dengan Siwa
Bhairawa. Perkembangannya telah mulai terlihat sejak pemeritahan raja
Dharma Udayana Warmadewa yang didampingi permaisurinya Mahendradhatta
pada lebih kurang abad X. Dalam hal ini Mahendradhatta sebagai Calon
Arang atau Rangda ing girah bersama murid-muridnya sebagai penganut
Tantrayana memuja Dewi Durga untuk mendapatkan ilmu gaib, kesaktian
agar terkabul segala kehendaknya.
Pada sekitar abad ke XIII pada jaman Kebo Parud di Bali Tantrayana
juga dilaksanakan dengan tekun oleh Kebo Parud dan pegawai-pegawai
Singasari lainnya yang bertugas di Bali pada saat itu.
Selanjutnya sesudah abad ke XIV tidak terdapat bukti-bukti lagi
mengenai perkembangan Tantrayana itu. Kemungkinan bahwa setelah
mengalami perkembangan yang meluas baik di Jawa, Sumatra, maupun di
Bali, maka Tantrayana setelah abad XIV mengalami kemunduran.
Sebab-sebab kemundurannya itu mungkin pula disebabkan oleh kemajuan
cara berpikir manusia sehingga orang-orang menyadari bahwa arca-arca
yang demikian atau sama sekali tidak sesuai dengan kemajuan jaman
selanjutnya. Banyak upacara-upacara Tantrayana itu yang sangat
bertentangan dengan kesopanan, tata susila, kemanusiaan dan hal yang
tidak pantas dilakukan oleh orang biasa.
Lebih-lebih lagi pada saat sekarang dalam hal ini Pancasila sebagai
dasar negara Republik Indonesia, maka cara-cara 5 ma dan lainnya dari
Tantrayana tidak sesuai dengan dasar negara Pancasila dan kepribadian
bangsa Indonesia. Sudah sepantasnya Tantrayana pada akhirnya lenyap
dari bumi Indonesia karena cara-cara pelaksanannya upacara Tantrayana
itu terlalu bebas memberi kesempatan bagi setiap orang untuk memenuhi
nafsu keduniawian dengan 5 ma-nya. Kemungkinan para penganut Tantrayana
itu memang melaksanakan 5 ma itu dengan penuh kesadaran dan tujuan
untuk menyatukan dirinya dengan Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang
Widhi Wasa), sehingga melakukan 5 ma itu bukanlah merupakan nafsu dan
kenikmatan duniawi. Tetapi cara-cara itu sangatlah sukar bisa
dilaksanakan bagi orang biasa.
Demikianlah akhirnya Tantrayana itu tidak ada lagi sisa pemeluknya khususnya baik di Bali maupun di Jawa dan Sumatra.
Namun dalam beberapa hal faham Tantra hingga kini masih terlihat
pengaruhnya, di Bali baik di bidang kesusastraan maupun seni pengaruh
Tantrayana masih terlihat. Cerita calon arang, cerita yang sangat
terkenal dan masih tetap semangat digemari oleh masyarakat Bali. Cerita
calon arang melukiskan pertentangan antara raja Airlangga dengan para
pengikut ilmu gaib dari aliran Tantrayana. Cerita ini hingga sekarang
masih dilakonkan dalam bentuk seni tari. Mungkin banyak yang sangat
terkenal dan masih ada di Bali sekarang merupakan sisa-sisa pengaruh
Tantrayana yang masih terlihat sampai sekarang ialah sengguhu di Bali
mempergunakan atribut kalachakra : sangku putih, genderang tangan dan
genta (atribut menari dari Siwa Bhairawa) tergantung di atas sebuah
chakra dengan sebuah pegangan atau tangkai garuda.
Apabila kita perhatikan dan kita amati secara lebih mendalam lagi
pada buku Panca Yadnya khususnya mengenai upacara Bhuta Yadnya. Bahwa
Bhuta Yadnya yang tidak lain adalah korban kepada Bhutakala, adalah
bersumber dari ajaran keagamaan Tantrayana. Tantrayana termasuk sekta
atau saktiisme, karena yang dijadikan objek persembahannya adalah
sakti. Sakti dilukiskan sebagai Dewi sumber kekuatan atau tenaga. Sakti
adalah simbol dari bala atau kekuatan (Sakti is the symbol of Bala or
strength) (Das Gupta, 1955 : 100). Dalam sisi lain sakti juga disamakan
dengan energi atau kala (This sakti or energi is also regarded as
“kala” or time) (Das Gupta, ibid).
Dengan demikian Saktiisme sama dengan kalaisme. sekte keagamaan
kalaisme disebut juga Kalamuka atau kalikas dan disebut juga Kapalikas.
Sekte ini sejenis dengan aliran bhairawa atau Tantrayana kiri.
Pengikut dari sekte ini di India kebanyakan dari suku Dravida, penduduk
asli India, dari pendekatan Antropologi budaya, kepercayaan sejenis
ini disebut Dynamisme.
Oleh karena pengikut sekte ini kebanyakan penduduk asli India maka
juga disebut Sudra Kapalikas. Pengikut ini tidak percaya kepada sistem
kasta dan pengikut ini selalu melaksanakan Panca Ma sebagai bagian dari
pelaksanaan ritual mereka. Panca Ma ( 5 ma) itu adalah : makan daging
(mamsa), makan ikan (matsya), minum-minuman keras (mada), mudra
(melakukan gerak tangan), mythuna (mengadakan hubungan cinta yang
berlebih-lebihan). Ajaran ini hanya bersifat pemuasan nafsu dan
dikucilkan dari Weda. Aliran ini memuja Dewi sebagai ibu, baik
Bhairawi, Ibu Durga maupun Kali. Mereka adalah super matrial power.
Ibu Durga atau Bhairawi inilah yang melahirkan para bhuta-bhuti
dengan kekayaan yoganya. Perihal penciptaan ini banyak diuraikan dalam
berbagai lontar yang bersifat Tantrayana di Bali.
Tapi dalam Dharma Sastra, para bhutakala ini yang termasuk golongan
Sadya adalah diciptakan oleh Brahman. Golongan Sadya itu terdiri dari
makhluk astral yang tingkatannya lebih rendah dari Dewa-dewa, mereka
mempunyai sifat bermacam-macam. Menurut Manawa Dharma Sastra III. 196,
golongan Sadya ini terdiri dari berbagai jenis Daitya, Danawa, Raksasa,
Yaksa, Randharwa, Naga, Suparna dan Kimnara.
Daitya, Danawa, Raksasa, Yaksa dan makhluk astral rendahan lainnya
seperti peri, setan, jin dan lain-lain adalah tergolong bhuta-bhutani.
Semua golongan ini termasuk tingkat sadya yang diciptakan oleh Brahman.
Bhuta-bhutani yang disebut-sebut dalam sastra mempunyai sifat krodha
yang artinya marah. Kelompok ini sebagai makhluk astral sangatlah
ditakuti, karena sifatnya menganggu.
Raksasa adalah sejenis bhuta pula, termasuk didalamnya adalah
Yaksa, Naga, Yatudhana dan Pisaca, kelompok ini juga disebut
Krodhawangsa. Kelompok ini biasanya diberi tugas sebagai pelindung atau
penjaga pintu sorga atau neraka termasuk kawah. Ceritera tentang
kelompok raksasa ini banyak kita jumpai dalam ceritera Mahabharata.
Yatudhana dan Panlastya adalah sejenis raksasa pula, karena kesaktiannya dapat memperlihatkan dirinya sesuai dengan kemauannya.
Paisaca adalah raksasa pula, tapi ukurannya lebih kecil dan sifatnya adalah mengganggu dan pemarah.
Asura adalah kelompok makhluk astral yang sifatnya bertentangan
dengan dewa-dewa. Sifatnya sama pula dengan raksasa. Kelompok asura ini
antara lain Danawa dan Aditya.
Setan adalah kelompok makhluk astral yang tingkatannya lebih rendah
dari makhluk astra di atas. Mereka tergolong bhuta juga. Dalam Atharwa
Weda dikenal nama-nama setan seperti setan golongan Sadhanwa, setan
sebagai pisaci yang dinamakan magundi. Mereka adalah pengganggu
keharmonisan atau ketentraman di dunia ini, oleh karena itu harus
diusir dengan doa-doa yang berseranakan jimat (lihat Atharwa Weda,
Sukta IX, hal. 51).
Dalam lontar Bhumi Kamulan menguraikan bahwa Siwa sebagai Tuhan,
menurunkan Korsika, Gargha, Maitri dan Kurusya. Keempat putra ini
disuruh menciptakan alam semesta, tapi tidak mau maka ia dikutukNya
menjadi bhutakala, lalu diciptakanlah Pratanjala ia sanggup menciptakan
dunia beserta isinya. Mula-mula tercipta para dewa-dewa,
widyadhara-widyadhari, gandharwa, Kim nara semua ini makhluk halus yang
bertabiat kasar seperti raksasa, danawa, pisaca, daitya, semuanya
makhluk halus yang menyeramkan. Berikutnya sampailah diciptakan makhluk
halus yang terendah yaitu jin, setan, bragala, memedi, tonye dan
lain-lainnya berupa jenis bhuta yang memenuhi ruang dan waktu. Di lain
pihak sang pencipta (Dewi Uma) tanpa disadari telah berubah wujud
menjadi aheng, bertaring, berambut gimbal, tubuh dan mulutnya membesar.
Demikianlah Uma telah berubah menjadi Durga. Melihat Uma menjadi Durga
maka Pretanjalapun merubah dirinya kedalam wujud ganas, aheng (angker)
yang disebut Mahakala. Semua makhluk halus, kasar, aheng dan angker
ciptaanNya menjadi bawahannya. Mereka tinggal ditempat-tempat yang
angker dan menyeramkan seperti pada jurang, pangkung, hutan, setra dan
sebagainya. Para bhuta makhluk halus terendah menempati tempat-tempat
yang kotor, aliran air, tempat sampah-sampah dan sebagainya.
Durga Mahakala dengan Vadvanya ini lalu menjadi ancaman terhadap
dunia ini. Ia menimbulkan penyakit, membunuh makhluk seisi dunia ini
maka sorgapun menjadi gentar. Oleh karena itu diperintahkan turun Dewa
Brahma, Wisnu dan Iswara, untuk membersihkan alam ini, dan menyucikan
kembali Dirga Mahakala agar kembali menjadi somya, lalu Brahma menjadi
Rsi, Wisnu menjadi Bujangga Waisnawa dan Iswara menjadi Pedanda, ketiga
ini di sebuat Trisadhaka.
Demikianlah uraian lontar Bumi Kamulan atau Bhumi Sivagama
menguraikan sebagai berikut. Karena kesalahan Dewi Uma, maka Bhatara
Guru mengutukNya, lalu ia turun ke dunia menjadi Durga dalam wujud lima
durga, yaitu Sri Durga berkedudukan di Timur, Raji Durga berkedudukan
di Utara, Suksmi Durga berkedudukan di Barat dan Dahri Durga
berkedudukan di Selatan dan Dewi Durga berkedudukan di Tengah.
Sri Durga beryoga menciptakan Kalika-kaliki, Yaksa-yaksi, Bhuta
Dengen. Rajiyoga beryoga mengadakan Jin, Setan, Bragala-bragali, Bebai
dan segala jenis penyakit. Dhari Duga lalu mengadakan Sangbhuta
Kapiragan, Suksmi Durga mengadakan Kamala-kamali, Kala Sweta dan
lain-lain. Sedangkan Dewi Durga beryoga mengadakan Panca Bhuta, yaitu :
Bhuta Janggitan, Bhuta Langkiir, Lembu Kere, Bhuta Iruna dan Bhuta
Tiga Sakti. Melihat Uma menjadi Durga, maka Betara Guru pun mengutuk
dirinya menjadi Kala Rudra. Karena sentuhan Kala Rudra ini pada diri
Durga, maka terciptalah Bhuta Kala yang memenuhi ruang dan waktu.
Kemudian dalam perkimpoian Kala Rudra dengan Durga lahirlah Bhatara
Kala.
Dalam Lontar Pangiwa, Ratuning I Macaling di sebut-sebut adanya
Sasuhunan ring tengahing samudra dengan pepatihnya I Ratu Gede
mecaling. Bhatari ini juga dikenal dengan nama Ratu Kasuhun Kidul atau
Nyi Roro Kidul kalau di Jawa. Di Bali Beliau inilah yang memegang
kekuasaan atas makhluk halus yang menyeramkan itu, termasuk para
bhutakala-bhutakali. Menjelang sasih ke enam beliau dengan Vadvanya
pergi kedesa-desa yang dapat menimbulkan penyakit, baik bagi manusia
maupun binatang, agar manusia, binatang dan alam lingkungannya tidak
terganggu makhluk halus angker dan ciptaan Durga lainnya, maka
diperlukan suatu usaha untuk menjaga keseimbangan dan keharmonisan
dengan mempersembahkan caru atau menyadakan pecaruan.
Perlu digarisbawahi bahwa para praktisi Tantra menyatakan bahwa
tujuan utama dari Tantra adalah sama seperti tujuan Weda yaitu mencapai
Tuhan dan kebenaran, pengetahuan dan kebahagiaan yang merupakan
atribut dari yang absolut. Menurut Kularnawa Tantra, Veda atau Sruti
adalah apa yang diingatkan untuk jaman Tretayuga. Sedangkan Purana atu
epos besar yang pernah ada adalah yang menjadi bahan perbandingan untuk
lebih memahami ajaran Sruti dan Smrti tadi.
Akhirnya, dinyatkan bahwa Tantra adalah ajaran yang dikhususkan
untuk jaman Kaliyuga. Mereka menyatakan bahwa tidak mungkin pada jaman
Kaliyuga ini, untuk melakukan ritual yang sedemikian rumit dan berbagai
tirakat yang terdapat di dalam Veda, akan tetapi alternatifnya adalah
melatih Tantra yoga yang akan menuntun pada tujuan yang sama dan juga
sekaligus memenuhi kebutuhan manusia (Tantra, hal. 183-184).
Demikianlah sekilas mengenai Tantrayana dan perkembangannya di Indonesia.
Tentang
ajaran Bhairawa dalam hubungannya dengan Tantrayana ada tiga aliran
yaitu: Bhairawa Hala Cakra merupakan pertemuan ajaran Buddha dengan
ajaran Tantrayana. Bhairawa Heru Cakra merupakan ajaran yang muncul dari
tradisi kepercayaan Indonesia bercampur dengan Hala Cakra. Bhairawa
Bima Sakti adalah pertemuan antara ajaran Bhairawa dengan ajaran Siwa.
Ajaran Tantra Bhairawa bisa dikatakan sebuah penyimpangan dari ajaran
Tantrayana yang asli. Ritual PANCAMAKARA yang bersumber dari kitab Kali Mantra dan kitab Mahanirvana Tantra jelas disebutkan sebagai berikut :
Kali Mantra:
Sadayam bhaamsaca miinam ca mudraa naithuna se vaca, Ete Pamca Makaaraa syu Mokshadaah Kaluyuge
"Mabuk, memakan daging, memakan ikan,melakukan sexualitas dan meditasi, akan menuntun kepada Moksha pada jaman Kaliyuga ini."
“Minum, teruslah minum hingga kamu terjerembab ke tanah. Lantas
berdirilah kembali dan minum lagi hingga sesudah itu kamu akan terbebas
dari punarjanma (kelahiran kembali) dan mencapai kesempurnaan.
(Moksha).”
Maksud dari ayat yang dipaparkan dalam Kitab Kali Mantra adalah,
dengan ritual sebagaimana tersebut dibawah ini, maka akan dicapai Moksha
pada jaman Kaliyuga yang tengah berlaku sekarang. Ritual tersebut
adalah sebagai berikut :
1. MATSYA ( Makan ikan )
2. MAMSA ( Makan Daging )
3. MADA ( Minum arak hingga mabuk berat )
4. MAITHUNA ( Sex bareng-bareng di Ulun Setra/Kuburan )
5. MUDRA ( Baru masuk meditasi. Habis Makan, minum dan sex )
Yang dimaksudkan adalah :
1. MATSYA ( Ikan ) artinya = JADILAH SEEKOR IKAN YANG MENYELAMI
SUNGAI/LAUTAN KEHIDUPAN. JANGAN MALAH MENOLAK KEHIDUPAN DAN MENINGGALAN
DUNIA.
3.MADA ( Mabuk ) artinya = MINUM DAN REGUKLAH SPIRITUALITAS, WALAU
HIDUP DIALAM MATERI. MINUMLAH SPIRITUALITAS ITU HINGGA KAMU MABUK
DENGAN-NYA.
4. MAITHUNA (Sex) artinya = CAPAILAH ORGASME SPIRITUAL, SATUKAN
SAKTI/KUNDALNI DENGAN ATMAMU! USAHAKANLAH BENAR-BENAR AKAN HAL INI!
5. MUDRA (Sama saja dengan MEDITASI ) artinya = CAPALAH PELEBURAN DENGAN ASAL USULMU. ITULAH KESEMPURNAAN!
Sedangkan pengertian mabuk yang dipaparkan dalam Kitab Maha Nirvana Tantra diatas, sesungguhnya adalah MABUK SPIRITUALITAS.
Inilah
sesungguhnya maksud dari ajaran TANTRAYANA. TETAP MENIKMATI KEDUNIAWIAN
NAMUN SPIRITUALITAS HARUS DIUTAMAKAN. Namun dalam ajaran Tantra
Bhairawa, ritual-ritual yang dipaparkan diatas, benar-benar dijalankan
apa adanya.
Lantas
benarkan Prabhu Kertanegara penganut Tatra Bhairawa Kalacakra? Jelas
ini bertentangan dengan informasi yang ditulis dalam Negarakretagama.
Dalam Negarakretagama Prabhu Kartanegara disebutkan sebagai penganut
Tantra Subuthi.
Dalam Nagarakretagama pupuh 43 : 2-6 :
2. Itulah sebabnya, baginda (Kertanegara) sangat teguh berbhakti
memuja kaki padma Sakyamuni (Buddha), kokoh setia menjalankan Pancasila
(Pancasila Buddhis), Samskara dan Abhisekakarma. Gelar Jina beliau
adalahShri Jnyanabadreshwara.Mumpuni dalam tattwa (filsafat agama Shiwa
dan agama Buddha), tata bahasa (sanskerta dan Palli) dan sutra-sutra
lainnya
3. Sangat giat beliau mempelajari segala ilmu spiritualitas.
Terutama Tantra Subhuti sangat diutamakannya. Ajarannya merasuk kedalam
jiwa beliau. Beliau giat melakukan Puja, Yoga, Samadi demi keselamatan
seluruh Kerajaan agar terhindar dari tenung dan agar seluruh rakyat
kecil sejahtera semua.
4. Diantara para leluhurnya tidak ada yang setara dengan beliau,
paham akan Sadgunna (Enam macam ilmu Politik yang diajarkan Weda),
sempurna dalam ilmu ketata negaraan dan ahli dalam tattwa agama (Shiwa
Buddha). Teguh menjalankan aturan Jina, dan senantiasa berlaku utama.
Itulah sebabnya sampai seluruh keturunannya diberkati sebagai pemimpin
utama (sampai sekarang seluruh pemimpin Nusantara masih berbau darah
Singasari ~ Malang, Jawa Timur)
5. Pada tahun ABDHIJANARRYAMA (1214 Saka atau 1292 Masehi), baginda
berpulang ke Jinalaya (Alam Jina), disebabkan beliau telah sempurna
dalam Kriyantara (Upacara agama Shiwa Buddha) dan ajaran agama
(Sawrwopadesyadika), seluruh rakyat memberikan gelar kepada beliau
Bathara Shiwa Buddha. Di Candi beliau ditegakkan arca Shiwa Buddha,
sangat-sangat indah menawan
.
6. Di Sagala ditegakkan pula arca Jina sangat bagus dan rupawan.
Serta Arca Ardhanareshwari (Shiwa dan Durga menjadi satu) disatukan
dalam Arca Bajradewi, teman hidup beliau dalam tapa demi keselamatan dan
kesuburan negara (Bajradewi istri Kartanegara). Arca tersebut juga
lambang dari Wairochana dan Lochana dalam satu kesatuan tunggal, sangat
masyhur dan indah.